Oleh : Anjar Nugroho
Pendahuluan
Hubungan Islam dengan Barat dalam sejarah panjangnya diwarnai dengan fenomena kerjasama dan konflik. Kerjasama Islam dan Barat paling tidak ditandai dengan proses modernisasi dunia Islam yang sedikit banyak telah merubah wajah tradisional Islam menjadi lebih adaptatif terhadap modernitas. Akan tetapi sejak abad ke-19, gema yang menonjol dalam relasi antara Islam dan Barat adalah konflik. Ketimbang memunculkan kemitraan, relasi Islam dan Barat menggambarkan dominasi-subordinasi.
Pasang surut hubungan Islam dan Barat adalah fenomena sejarah yang perlu diletakkan dalam kerangka kajian kritis historis untuk mencari sebab-sebab pasang surut hubungan itu dan secepatnya dicari solusi yang tepat untuk membangun hubungan tanpa dominasi dan konflik di masa-masa mendatang. Barat selama ini dicurigai sebagai pihak yang telah memaksakan agenda-agenda “pembaratan” di dunia Islam dalam rangka mengukuhkan hegemoni globalnya. Dampak yang ditimbulkan dari hegemoni global Barat adalah semakin terpinggirkannya peran ekonomi, politik, sosial dan budaya Islam dalam panggung sejarah peradaban dunia.
Tidak hanya itu, Islam semakin tersudut dengan berbagai cap yang dilontarkan Barat terhadap Islam, mulai dari cap fundamentalis sampai teroris. Tentunya berbagai cap itu terselubung kepentingan tingkat tinggi (high interest) untuk membuat semakin terpojoknya Islam sehingga mudah untuk dijinakkan –lagi-lagi – demi kepentingan globalnya.
Tulisan ini hendak mengkaji bagaimana konflik dan benturan terjadi antara Barat dan Islam, lalu motif apa yang menyertai begitu bernafsunya Barat menghegemoni dunia Islam? Benturan peradaban ataukah benturan kepentingan yang sesungguhnya terjadi antara Barat dan Islam? Dan bagaimana sebaiknya Islam merespon hegemoni Barat?
Tesis Huntington
Sejak “serangan terorisme” menghantam dua simbol kedigdayaan AS – Pentagon dan World Trade Centre – banyak pengamat mengupas kembali teori benturan antarperadaban yang pernah dipopulerkan Samuel P. Huntington. Dalam tulisan kontroversialnya The Clash of Civilization yang dimuat jurnal Foreign Affair (Summer, 1993), guru besar studi-studi strategis pada
Secara lebih luas,
Dari premis-premis itu, sebelum sampai pada kesimpulan bahwa dari fakta-fakta di atas secara otomatis akan menciptakan jurang perbedaan di antara peradaban-peradaban,
Sejak awal, teori “benturan antarperadaban”
Kelemahan Tesis Huntington
Akbar S. Ahmed (1992), salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka, adalah salah satu yang tidak sepaham dengan
Kelemahan lain dalam tesis
Huntington mencampuradukkan berbagai hal yang bermacam ragam, termasuk letak (Barat), ajaran (Konfusius), etnik (Slav), negara (Jepang), agama (Islam), dan benua (Afrika). Dalam hal ini, ia tidak konsisten dan tanpa definisi peradaban yang dapat diterapkan untuk menguji tesis itu.
Selain itu, sama seperti apa yang telah diungkap Akbar di atas, kesimpulan
Benturan Antar Peradaban atau Benturan Kepentingan?
Terhadap tesis
Sementara kelompok akomodasionis justru menolak diskripsi Islamis yang selalu menggambarkan Islam sebagai anti demokrasi. Mereka membedakan antara tindakan-tindakan kelompok aposisi politik Islamis dengan minoritas ekstrim yang hanya sedikit jumlahnya. Diantara kelompok ini terdapat nama John L. Esposito dan Leon T. Hadar. Bagi mereka, di masa lalu maupun di masa sekarang, ancaman Islam sebenarnya tidak lain adalah mitos Barat yang berulang-ulang (Fawaz, 2000:30). Sehingga mereka, meminjam istilah mantan Perdana Menteri Malaysia Datuk Mahathir Muhammad, takut dengan banyangannya sendiri.
Tesis Huntington sebenarnya bagian dari rekomendasi bagi pemerintahan Amerika Serikat untuk membuat peta tata dunia baru di planet bumi.
Pada sisi lain, Barat, menurut sebagian pengamat, dalam hal ini Amerika Serikat, jelas merupakan pihak yang paling merasa “diamini” secara ilmiah oleh Huntington, khususnya dalam untuk melaksanakan kebijkan-kebijakan politik luar negeri. Betapa tidak, dengan tesis benturan antar peradaban ini, Barat yang telah lama terbiasa dengan visi global dan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada persaingan antar negara adidaya dalam berebut mendapatkan pengaruh dominasi global, semakin tergoda untuk mengidentifikasi ancaman ideologi global lainnya seperti Islam dan Konfusius dalam rangka mengisi “kekosongan ancaman” yang timbul pasca runtuhnya komunisme.
Bukti otentik adanya “faktor kepentingan” yang menyertai tindakan Barat (Amerika) dalam aksi-aksi politik dan militer yang menyebabkan timbulnya clash antara Barat dan beberapa negara Islam adalah fenomena Perang Teluk jidid II di Irak. Dengan dalih memerangi terorisme dengan menumbangkan kekuasan Saddam Husein yang dinilai melindungi para teroris, ujung-ujungnya adalah penguasaan sumber-sumber minyak yang konon kandungannya nyaris sepadan dengan yang dipunyai Arab Saudi. Lebih dari itu, dengan runtuhnya pemerintahan Saddam di Irak, akan lebih mengukuhkan hegemoni AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di muka bumi ini yang berhak berbuat apa saja untuk melaksanakan kepentingan globalnya.
Cendekiawan terkemuka Muslim lain yang pendapatnya selaras dengan asumsi ini adalah Muhammad Abed al-Jabiri (1999:73), Guru Besar Filsafat dan Pemikiran Islam-Arab pada Muhammad V University Maroko. Sepanjang sejarah, menurut al-Jabiri, hubungan antar peradaban tidak bersifat konfrontasi, tetapi interpenetrasi. Bahkan konfrontasi dan konflik lebih sering dan destruktif dibandingkan konfrontasi antar negara-negara dengan peradaban berbeda. Buktinya, dua kali perang dunia terjadi dalam peradaban Barat, disebabkan oleh konflik kepentingan (conflicts of interensts)
Kepentingan global Barat sesungguhnya adalah dominasi ekonomi dan politik atas seluruh negara non-Barat. Untuk melancarkan kepentinganya itu, Barat memakai banyak cara, dari yang paling halus sampai yang paling berdarah-darah. Cara halus Barat mengukuhkan hegemoninya diantaranya melalui rezim pengetahuan. Rezim pengetahuan yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara berfikir saja yang diarahkan, tetapi
Hegemoni pengetahuan Barat terlihat jelas ketika kaum terdidik di negara berkembang dengan setia dan tidak sadar menyebarkan dan membela nilai-nilai dan institusi Barat seperti demokrasi, civil society, hak asasi manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai nilai-nilai universal yang merupakan produk peradaban terbaik yang harus diikuti.
Respon Muslim : Dialog atau Melawan Hegemoni
Apapun motif, model, dan pihak yang terlibat konflik, realitas dunia yang penuh konflik menimbulkan bencana kemanusiaan yang dahsyat, dimana negara-negara berkembang – termasuk Muslim – adalah korbannya. Konflik yang dipicu oleh semangat imperialisme telah membuat jurang yang semakin lebar antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dunia tentu tidak boleh terlalu lama dibiarkan terpolarisasi atas dua kelompok itu, di mana kelompok dominan sebagai the first class, bisa berbuat sewenang-wenang atas kelompok yang didominasi. Jalan keluar dari kemelut ini ada dua yang ditawarkan beberapa kalangan, dialog atau melawan hegemoni.
Dialog adalah model penyelesaian yang dinilai paling sedikit menanggung resiko. Dialog ini mengasumsikan antara pihak yang terlibat konflik (Barat dan non-Barat –Islam-) berada dalam posisi yang sejajar untuk mau saling mengerti satu sama lain. Negara-negara Barat harus mau mengakhiri sikap imperialis dalam segala bentuknya, termasuk proyek-proyek pos-kolonialismenya, dan mulai membangun relasi setara dan bersahabat. Kerjasama dan partisipasi hanya akan bermakna bila didasarkan keseimbangan kepentingan dan bebas dari hegemoni.
Orang yang mengidealkan cara dialog untuk menyelesaikan konflik peradaban atau kepentingan mungkin lupa bahwa syahwat hegemoni Barat adalah sesuatu yang sudah laten dalam tradisi relasi Barat – non-Barat. Keinginan untuk mengajak Barat bersikap lebih adil adalah utopia di tengah nafsu serakah Barat yang ingin menguasai dunia.
Setelah cara dialog adalah model utopis, maka jalan lain yang tidak boleh dihindari oleh negara-negara non-Barat (berkembang atau Muslim) adalah melawan hegemoni itu dengan potensi kekuatan yang ada. Cara melawan hegemoni yang paling fundamental adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat. Sikap yang terlalu adaptatif - umat Islam Islam - terhadap yang datang dari Barat hanya akan semakin mengukuhkan hegemoni Barat di dunia Muslim. Umat Islam yang secara sukarela belajar demokrasi, lalu mengintegrasikan dalam ajaran Islam dan menerapkan dalam kehidupan politik adalah salah satu bentuk menerima untuk dijajah. Belum lagi ketika belajar dan menerima peradaban, modernitas, dan civil society hampir tanpa reserve. Padahal nenurut James Petras dan Henry Veltmeyer (2002 : 217), wacana tentang itu semua sesungguhnya dipakai untuk melegitimasi perbudakan, genocide, kolonialisme, dan semua bentuk eksploitasi terhadap manusia.
Sudah saatnya kaum Muslim di negara-negara berkembang bersikap kritis untuk melawan wacana global yang diproduksi Barat. Termasuk wacana globalisasi yang selama ini diterima sebagai sesuatu yang niscaya, harus dikritisi karena tersembunyi sebuah ideologi (hidden ideology) yakni neo-liberalisme yang dampaknya terhadap pembunuhan ekoniomi rakyat sangat luar biasa.
Memang patut untuk disayangkan sikap beberapa kuam Muslim yang mengaku berfikir liberal tetapi sesunggunya mereka telah menjadi terbaratkan. Misalnya saat mereka ramai-ramai menolak penerapan syari’at Islam di Indonesia, yang mereka tawarkan tidak lain dan tidak bukan adalah syari’at liberal yang jauh lebih menghancurkan bangsa ini. Karena syariat liberal pada dasarnya adalah pembuka dan sekaligus legitimasi rasional atas berbagai bentuk mutakhir penjajahan Barat atas negara berkembang, termasuk
Penutup
Dari paparan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan penting terkait dengan relasi Islam dan Barat yang membentuk struktur dominasi-subordinasi yang dalam beberapa hal sarat konflik. Pertama, basis benturan Islam dan Barat adalah kepentingan ekonomi dan politik (kapitalisasi dan liberalisasi). Kedua, bahwa dominasi Barat atas dunia non-Barat, yang termasuk di dalamnya dunia Islam adalah dalam rangka mengamankan kepentingan ekonomi dan politik global Barat. Ketiga, dominasi itu dilaksanakan oleh Barat melalui cara yang paling halus sampai yang paling kasar, bahkan berdarah-darah (perang fisik). Cara halus Barat adalah melalui rezim pengetahuan yang terus-menerus diinjeksikan ke dalam dunia intektual Islam, sehingga pengetahuan lain tidak (boleh) berkembang. Ketiga, Cara untuk melawan hegemoni Barat adalah dengan bersikap kritis terhadap Barat, termasuk dalam hal ini adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam : Predicamen and Promise,
Fawaz A. Gerges, Amerika dan Islam Politik : Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan ?,
James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperalisme Abad 21, penj. Agung Prihantoro, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2002
Mohammad Abed al-Jabiri, Islam, Modernism and the West, dalam Mun’in A Sirri, “Membangun Dialog Peradaban : Dari Huntington ke Ibn Rusyd”, Kompas 22 Januari 2002
Samuel Huntington, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia , penj, M. Sadat Ismail,
_______________, “The Clash of Civilization?”, Foreign Affairs, Summer, 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar