Selasa, 17 Juli 2007

Dunia Islam

HEGEMONI BARAT DAN RESPON ISLAM

Oleh : Anjar Nugroho

Pendahuluan

Hubungan Islam dengan Barat dalam sejarah panjangnya diwarnai dengan fenomena kerjasama dan konflik. Kerjasama Islam dan Barat paling tidak ditandai dengan proses modernisasi dunia Islam yang sedikit banyak telah merubah wajah tradisional Islam menjadi lebih adaptatif terhadap modernitas. Akan tetapi sejak abad ke-19, gema yang menonjol dalam relasi antara Islam dan Barat adalah konflik. Ketimbang memunculkan kemitraan, relasi Islam dan Barat menggambarkan dominasi-subordinasi.

Pasang surut hubungan Islam dan Barat adalah fenomena sejarah yang perlu diletakkan dalam kerangka kajian kritis historis untuk mencari sebab-sebab pasang surut hubungan itu dan secepatnya dicari solusi yang tepat untuk membangun hubungan tanpa dominasi dan konflik di masa-masa mendatang. Barat selama ini dicurigai sebagai pihak yang telah memaksakan agenda-agenda “pembaratan” di dunia Islam dalam rangka mengukuhkan hegemoni globalnya. Dampak yang ditimbulkan dari hegemoni global Barat adalah semakin terpinggirkannya peran ekonomi, politik, sosial dan budaya Islam dalam panggung sejarah peradaban dunia.

Tidak hanya itu, Islam semakin tersudut dengan berbagai cap yang dilontarkan Barat terhadap Islam, mulai dari cap fundamentalis sampai teroris. Tentunya berbagai cap itu terselubung kepentingan tingkat tinggi (high interest) untuk membuat semakin terpojoknya Islam sehingga mudah untuk dijinakkan –lagi-lagi – demi kepentingan globalnya.

Tulisan ini hendak mengkaji bagaimana konflik dan benturan terjadi antara Barat dan Islam, lalu motif apa yang menyertai begitu bernafsunya Barat menghegemoni dunia Islam? Benturan peradaban ataukah benturan kepentingan yang sesungguhnya terjadi antara Barat dan Islam? Dan bagaimana sebaiknya Islam merespon hegemoni Barat?

Tesis Huntington

Sejak “serangan terorisme” menghantam dua simbol kedigdayaan AS – Pentagon dan World Trade Centre – banyak pengamat mengupas kembali teori benturan antarperadaban yang pernah dipopulerkan Samuel P. Huntington. Dalam tulisan kontroversialnya The Clash of Civilization yang dimuat jurnal Foreign Affair (Summer, 1993), guru besar studi-studi strategis pada Harvard University AS itu memprediksikan makin parahnya ketegangan antara peradaban Barat dan peradaban Islam.

Huntington mengajukan tesis dalam kalimat sangat tegas : ”Menurut Hipotesis saya,” katanya, “sumber utama konflik dunia baru tidak lagi ideologi atau ekonomi, tetapi budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik dominan. Negara-negara akan tetap menjadi aktor paling kuat dalam percaturan dunia, tetapi konflik politik global yang paling prinsipil akan terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka. Benturan peradaban akan mendominasi politik global.”

Secara lebih luas, Huntington mendasarkan pemikirannya – paling tidak – pada enam alasan yang dijadikannya sebagai premis dasar untuk menjelaskan mengapa politik dunia ke depan akan sangat dipengaruhi oleh benturan antar peradaban. Pertama, perbedaan peradaban tidak hanya nyata, tetapi sangat mendasar. Selama berabad-abad perbedaan antarperadaban telah menimbulkan konflik paling keras dan paling lama. Kedua, dunia ini sudah semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar identitas-identitas lokal yang telah berlangsung lama. Kecenderungan ini menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan berlabelkan “fundamentalisme”. Keempat, dominasi peran Barat menimbulkan reaksi de-westernisasi di dunia non-Barat. Kelima, perbedaan budaya kurang bisa menyatukan, dibanding perbedaan politik dan ekonomi. Kelima, kesadaran peradaban bukan reason d’etre utama terbentuknya regionalisme politik atau ekonomi (Huntington, 2002:ix-x).

Dari premis-premis itu, sebelum sampai pada kesimpulan bahwa dari fakta-fakta di atas secara otomatis akan menciptakan jurang perbedaan di antara peradaban-peradaban, Huntington melakukan dua hal; pertama, memetakan muara kultural, kecenderungan dan dinamika internal peradaban-peradaban, yaitu : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik/Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Premis di atas berimplikasi pada semakin lebarnya perbedaan antar peradaban yang akan semakin menyulitkan kompromi antar peradaban itu untuk sampai pada saling pengertian. Maka, ujung-ujungnya akan terjadi benturan antar peradaban. Namun pertanyaan kemudian, peradaban mana, vis a vis mana yang nantinya akan saling berbenturan? Ia menjawab pertanyan ini pada langkah kedua, meramalkan bahwa potensi konflik yang akan mendominasi dunia masa mendatang bukan diantara kedelapan peradaban tersebut, tetapi antar Barat dan peradaban lainnya. Sedangkan potensi konflik paling besar terjadi adalah antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius (ibid, x).

Sejak awal, teori “benturan antarperadaban” Huntington itu banyak mengundang kritik, bahkan cibiran, daripada apresiasi. Selain karena dianggap sebagai fantasi yang fantastis, teori itu juga tidak mencerminkan semangat zaman yang menekankan aspek globalisasi dan pluralitas, toleransi dan kesetaraan.

Kelemahan Tesis Huntington

Akbar S. Ahmed (1992), salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka, adalah salah satu yang tidak sepaham dengan Huntington. Dia menyatakan bahwa benturan yang terjadi dalam sejarah dunia lebih menunjukkan faktor kepentingan ekonomi dan politik ketimbang faktor perbedaan budaya. Akbar menunjuk fenomena perang Teluk I sebagai fakta empiris peta politik yang tidak berhadap-hadapan secara diametral, Barat vis a vis Islam, tetapi lebih menunjuk kepada polarisasi kepentingan. Dalam hal ini, negara-negara Muslim seperti Kuwait, Arab Saudi, Mesir pada posisi kepentingan yang seirama dengan Amerika dan sekutunya (Barat), sehingga tidak bisa dikatakan telah terjadi benturan antara Islam dan Barat.

Kelemahan lain dalam tesis Huntington adalah kerancuan dalam mendefinisikan peradaban. Huntington menyebut tujuh atau delapan peradaban utama yang mungkin akan saling berkonfrontasi di masa yang akan datang : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slav/Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika.

Huntington mencampuradukkan berbagai hal yang bermacam ragam, termasuk letak (Barat), ajaran (Konfusius), etnik (Slav), negara (Jepang), agama (Islam), dan benua (Afrika). Dalam hal ini, ia tidak konsisten dan tanpa definisi peradaban yang dapat diterapkan untuk menguji tesis itu.

Selain itu, sama seperti apa yang telah diungkap Akbar di atas, kesimpulan Huntington ternyata tidak menggambarkan kenyatan yang sebenarnya. Dengan berakhirnya perang dingin, kecenderungan yang terjadi bukan pengelompokan masyarakat dalam entitas tertinggi – yaitu pengelompokan peradaban – tetapi justru perpecahan menuju entitas yang lebih kecil, berdasar suku dan etnik. Hal ini terlihat jelas dari disintegrasi Uni Soviet, yang sebagian besar penduduknya memiliki dasar budaya dan peradaban yang sama. Kesamaan peradaban belum merupakan perekat cukup kuat bagi kelompok-kelompok etnik minoritas yang secara politik atau ekonomi merasa ditindas kelompok mayoritas yang berkuasa.

Benturan Antar Peradaban atau Benturan Kepentingan?

Terhadap tesis Huntington yang melihat Islam dan Barat sebagai dua peradaban yang saling berbenturan, ada banyak kalangan yang kemudian mempertanyakan : the clash of civilization or the clash of interest? Pertanyaan ini wajar adanya mengingat penelitian yang pernah dilakukan oleh Fawaz A. Gerges (2000:27-30) yang menunjukkan peta tentang polarisasi kaum intelektual di Amerika. Menurut Fawaz, kelompok intelektual Amerika sebenarnya terbagi ke dalam dua kelompok : Konfrontasionis dan akomodasionis. Kelompok pertama selalu mempersepsi Islam dengan pencitraan yang negatif. Dengan kata lain, mereka selalu menganggap Islam sebagai the black side of the world. Islam selalu diposisikan sebagai ancaman bagi demokrasi dan lahirnya tatanan dunia yang damai. Eksponen yang termasuk kelompok ini misalnya, Almos Perlmutter, Samuel Huntington, Gilles Kepel, dan Bernard Lewis.

Sementara kelompok akomodasionis justru menolak diskripsi Islamis yang selalu menggambarkan Islam sebagai anti demokrasi. Mereka membedakan antara tindakan-tindakan kelompok aposisi politik Islamis dengan minoritas ekstrim yang hanya sedikit jumlahnya. Diantara kelompok ini terdapat nama John L. Esposito dan Leon T. Hadar. Bagi mereka, di masa lalu maupun di masa sekarang, ancaman Islam sebenarnya tidak lain adalah mitos Barat yang berulang-ulang (Fawaz, 2000:30). Sehingga mereka, meminjam istilah mantan Perdana Menteri Malaysia Datuk Mahathir Muhammad, takut dengan banyangannya sendiri.

Tesis Huntington sebenarnya bagian dari rekomendasi bagi pemerintahan Amerika Serikat untuk membuat peta tata dunia baru di planet bumi. Huntington dalam hal ini ingin mengingatkan pemerintah AS untuk waspada terhadap ancaman baru pasca perang dingin dan runtuhnya negara Uni Soviet.

Pada sisi lain, Barat, menurut sebagian pengamat, dalam hal ini Amerika Serikat, jelas merupakan pihak yang paling merasa “diamini” secara ilmiah oleh Huntington, khususnya dalam untuk melaksanakan kebijkan-kebijakan politik luar negeri. Betapa tidak, dengan tesis benturan antar peradaban ini, Barat yang telah lama terbiasa dengan visi global dan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada persaingan antar negara adidaya dalam berebut mendapatkan pengaruh dominasi global, semakin tergoda untuk mengidentifikasi ancaman ideologi global lainnya seperti Islam dan Konfusius dalam rangka mengisi “kekosongan ancaman” yang timbul pasca runtuhnya komunisme.

Bukti otentik adanya “faktor kepentingan” yang menyertai tindakan Barat (Amerika) dalam aksi-aksi politik dan militer yang menyebabkan timbulnya clash antara Barat dan beberapa negara Islam adalah fenomena Perang Teluk jidid II di Irak. Dengan dalih memerangi terorisme dengan menumbangkan kekuasan Saddam Husein yang dinilai melindungi para teroris, ujung-ujungnya adalah penguasaan sumber-sumber minyak yang konon kandungannya nyaris sepadan dengan yang dipunyai Arab Saudi. Lebih dari itu, dengan runtuhnya pemerintahan Saddam di Irak, akan lebih mengukuhkan hegemoni AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di muka bumi ini yang berhak berbuat apa saja untuk melaksanakan kepentingan globalnya.

Cendekiawan terkemuka Muslim lain yang pendapatnya selaras dengan asumsi ini adalah Muhammad Abed al-Jabiri (1999:73), Guru Besar Filsafat dan Pemikiran Islam-Arab pada Muhammad V University Maroko. Sepanjang sejarah, menurut al-Jabiri, hubungan antar peradaban tidak bersifat konfrontasi, tetapi interpenetrasi. Bahkan konfrontasi dan konflik lebih sering dan destruktif dibandingkan konfrontasi antar negara-negara dengan peradaban berbeda. Buktinya, dua kali perang dunia terjadi dalam peradaban Barat, disebabkan oleh konflik kepentingan (conflicts of interensts)

Kepentingan global Barat sesungguhnya adalah dominasi ekonomi dan politik atas seluruh negara non-Barat. Untuk melancarkan kepentinganya itu, Barat memakai banyak cara, dari yang paling halus sampai yang paling berdarah-darah. Cara halus Barat mengukuhkan hegemoninya diantaranya melalui rezim pengetahuan. Rezim pengetahuan yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan.

Hegemoni pengetahuan Barat terlihat jelas ketika kaum terdidik di negara berkembang dengan setia dan tidak sadar menyebarkan dan membela nilai-nilai dan institusi Barat seperti demokrasi, civil society, hak asasi manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai nilai-nilai universal yang merupakan produk peradaban terbaik yang harus diikuti.

Respon Muslim : Dialog atau Melawan Hegemoni

Apapun motif, model, dan pihak yang terlibat konflik, realitas dunia yang penuh konflik menimbulkan bencana kemanusiaan yang dahsyat, dimana negara-negara berkembang – termasuk Muslim – adalah korbannya. Konflik yang dipicu oleh semangat imperialisme telah membuat jurang yang semakin lebar antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dunia tentu tidak boleh terlalu lama dibiarkan terpolarisasi atas dua kelompok itu, di mana kelompok dominan sebagai the first class, bisa berbuat sewenang-wenang atas kelompok yang didominasi. Jalan keluar dari kemelut ini ada dua yang ditawarkan beberapa kalangan, dialog atau melawan hegemoni.

Dialog adalah model penyelesaian yang dinilai paling sedikit menanggung resiko. Dialog ini mengasumsikan antara pihak yang terlibat konflik (Barat dan non-Barat –Islam-) berada dalam posisi yang sejajar untuk mau saling mengerti satu sama lain. Negara-negara Barat harus mau mengakhiri sikap imperialis dalam segala bentuknya, termasuk proyek-proyek pos-kolonialismenya, dan mulai membangun relasi setara dan bersahabat. Kerjasama dan partisipasi hanya akan bermakna bila didasarkan keseimbangan kepentingan dan bebas dari hegemoni.

Orang yang mengidealkan cara dialog untuk menyelesaikan konflik peradaban atau kepentingan mungkin lupa bahwa syahwat hegemoni Barat adalah sesuatu yang sudah laten dalam tradisi relasi Barat – non-Barat. Keinginan untuk mengajak Barat bersikap lebih adil adalah utopia di tengah nafsu serakah Barat yang ingin menguasai dunia.

Setelah cara dialog adalah model utopis, maka jalan lain yang tidak boleh dihindari oleh negara-negara non-Barat (berkembang atau Muslim) adalah melawan hegemoni itu dengan potensi kekuatan yang ada. Cara melawan hegemoni yang paling fundamental adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat. Sikap yang terlalu adaptatif - umat Islam Islam - terhadap yang datang dari Barat hanya akan semakin mengukuhkan hegemoni Barat di dunia Muslim. Umat Islam yang secara sukarela belajar demokrasi, lalu mengintegrasikan dalam ajaran Islam dan menerapkan dalam kehidupan politik adalah salah satu bentuk menerima untuk dijajah. Belum lagi ketika belajar dan menerima peradaban, modernitas, dan civil society hampir tanpa reserve. Padahal nenurut James Petras dan Henry Veltmeyer (2002 : 217), wacana tentang itu semua sesungguhnya dipakai untuk melegitimasi perbudakan, genocide, kolonialisme, dan semua bentuk eksploitasi terhadap manusia.

Sudah saatnya kaum Muslim di negara-negara berkembang bersikap kritis untuk melawan wacana global yang diproduksi Barat. Termasuk wacana globalisasi yang selama ini diterima sebagai sesuatu yang niscaya, harus dikritisi karena tersembunyi sebuah ideologi (hidden ideology) yakni neo-liberalisme yang dampaknya terhadap pembunuhan ekoniomi rakyat sangat luar biasa.

Memang patut untuk disayangkan sikap beberapa kuam Muslim yang mengaku berfikir liberal tetapi sesunggunya mereka telah menjadi terbaratkan. Misalnya saat mereka ramai-ramai menolak penerapan syari’at Islam di Indonesia, yang mereka tawarkan tidak lain dan tidak bukan adalah syari’at liberal yang jauh lebih menghancurkan bangsa ini. Karena syariat liberal pada dasarnya adalah pembuka dan sekaligus legitimasi rasional atas berbagai bentuk mutakhir penjajahan Barat atas negara berkembang, termasuk Indonesia.

Penutup

Dari paparan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan penting terkait dengan relasi Islam dan Barat yang membentuk struktur dominasi-subordinasi yang dalam beberapa hal sarat konflik. Pertama, basis benturan Islam dan Barat adalah kepentingan ekonomi dan politik (kapitalisasi dan liberalisasi). Kedua, bahwa dominasi Barat atas dunia non-Barat, yang termasuk di dalamnya dunia Islam adalah dalam rangka mengamankan kepentingan ekonomi dan politik global Barat. Ketiga, dominasi itu dilaksanakan oleh Barat melalui cara yang paling halus sampai yang paling kasar, bahkan berdarah-darah (perang fisik). Cara halus Barat adalah melalui rezim pengetahuan yang terus-menerus diinjeksikan ke dalam dunia intektual Islam, sehingga pengetahuan lain tidak (boleh) berkembang. Ketiga, Cara untuk melawan hegemoni Barat adalah dengan bersikap kritis terhadap Barat, termasuk dalam hal ini adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam : Predicamen and Promise, London : Routledge, 2002

Fawaz A. Gerges, Amerika dan Islam Politik : Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan ?, Jakarta : Alvabet, 2002

James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperalisme Abad 21, penj. Agung Prihantoro, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2002

Mohammad Abed al-Jabiri, Islam, Modernism and the West, dalam Mun’in A Sirri, “Membangun Dialog Peradaban : Dari Huntington ke Ibn Rusyd”, Kompas 22 Januari 2002

Samuel Huntington, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia , penj, M. Sadat Ismail, Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2002, cet V

_______________, “The Clash of Civilization?”, Foreign Affairs, Summer, 1993

Senin, 09 Juli 2007

PEMIKIRAN ISLAM


FIQIH KIRI : REVITALISASI USHÛL FIQH

UNTUK REVOLUSI SOSIAL

Oleh : Anjar Nugroho

A. Pendahuluan

Dalam perspektif sejarah, terminologi kiri seringkali dikenakan pada segala (pemikiran dan gerakan sosial) yang berusaha melakukan pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau dimapankan oleh kekuasaan dan kekuatan dominan.[1] Dalam pengertian lain kiri berarti meletakkan rakyat tertindas sebagai pihak yang patut dibela, dilindungi dan diperjuangkan.[2] Dan Hassan Hanafi[3] memaknai kiri sebagai pihak yang berada dalam barisan orang-orang yang dikuasai, yang tertindas, dan kaum miskin. Kiri, masih menurut Hanafi, adalah sebuah istilah ilmu politik yang berarti resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Jelas, ia adalah istilah akademik yang tanpa dibarengi pretensi politik dalam arti ideologi partai atau mobilitas massa, tegas Hanafi.

Kata “kiri” dalam tulisan ini dilekatkan dengan kata “fiqih” yang secara istilah berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at Islam mengenai perbuatan-perbuatan manusia, dimana pengetahuan tersebut diambil dari dalil yang bersifat tafshiliyah.[4] Sehingga Fiqih Kiri yang dimaksud adalah pengetahuan atau tuntunan syar’i yang memihak kepada rakyat yang tertindas, miskin (atau dimiskinkan, mustadh’afîn), atau tuntutan syar’i yang dipakai untuk melakukan kritik terhadap kekuasaan hegemonik yang despotik. Fiqih Kiri diposisikan sebagai antitesis terhadap fiqih mainstreem yang selama ini cenderung memihak kepada -atau dipakai untuk mengamankan – kekuasaan.

Fiqih selalu dijadikan sebagai tolak ukur dalam melihat persoalan-persoalan umat. Hanya saja para ahli fiqih atau lebih dikenal sebagai fuqaha (organisasi formal fuqaha Indonesia adalah MUI) dalam melihat persoalan umat dalam banyak kasus cenderung memilih persoalan yang tidak menyinggung atau menggoyang kemapanan kekuasaan. MUI misalnya, hanya berkutat pada memberi label halal-haram atau memberi fatwa sesat kepada kelompok yang dianggap menyimpang dari tradisi keagamaan mainstreem, tapi enggan mengutuk pabrik-pabrik yang menggaji rendah buruh atau mengutuk (kalau perlu fatwa murtad) terhadap koruptor kelas kakap.

Fiqih Kiri diharapkan akan mewarnai kerangka proses maupun hasil ijtihâd para ulama. Ketidakpekaan fiqih dalam menyoroti masalah kemanusiaan adalah bentuk lain dari pemberian legitimasi terhadap pelanggaran kemanusiaan. Jika fiqih terlambat dalam menangani dan mengatasi masalah kemanusiaan, fiqih akan mengalami dua masalah bersamaan : Pertama, fiqih akan manja dalam kemapanannya. Fiqih akan selalu dianggap sebagai doktrin yang mapan dan tak perlu melihat ke bawah. Kedua peran fiqih akan semakin sempit hanya pada masalah ritual belaka, yang kedua ini menjadikan fiqih tidak berarti apa-apa dalam menjawab problem-problem real rakyat.

Untuk menuju kepada Fiqih Kiri, maka perlu dikoreksi berbagai perangkat metodologis yang melahirkan fiqih, yakni Ushûl fiqh. Jika ilmu fiqih merupakan ilmu yang bersifat praksis semata-mata, maka ilmu Ushûl fiqh merupakan ilmu tentang “teoritisasi aktivitas praksis” yang memberikan teoritisasi perbuatan, logika perilaku, dan metodologi aktivitas praksis.[5] Mengkoreksi atau mengkaji ulang Ushûl fiqh berarti mengkaji ulang berbagai teori yang terdapat dalam Ushûl fiqh, termasuk di dalamnya kaji ulang terhadap teori qath’i-dzhannî, muhkam-mutasyabih, nasikh-mansukh, dan yang lebih penting adalah mengembalikan seluruh bangunan fiqih kepada landasan fundamentalnya, yaitu mashlahah (kepentingan rakyat). Sebagaimana kata al-Thûfi, mashlahat merupakan sesuatu yang qath’i, sementara teks bersifat zhannî.[6]

Tulisan ini akan mencoba melakukan kaji ulang secara kritis terhadap teori-teori Ushûl fiqh yang selama ini telah memasung fiqih menjadi sekedar kumpulan hukum statis yang tidak bisa berbicara apa-apa terhadap problem dan nasib rakyat. Banyak para pemikir muslim kontemporer yang dalam tulisan ini pemikirannya akan diramu sedemikian rupa sehingga mewujud sebuah konstruksi pemikiran fiqih baru yang penulis beri nama Fiqih Kiri. Para pemikir itu tentunya yang selama ini dikenal sebagai para pemikir Islam kiri, seperti misalnya Ali Syariati dan Hassan Hanafi.

Dalam makalah ini akan dielaborasi lebih lanjut sebagai sebuah tulisan utuh tentang konsep Fiqih Kiri dengan berangkat dari pokok-pokok masalah sebagai berikut : Pertama, tentang apa yang menjadi tujuan dan orientasi Fiqih Kiri. Kedua, tentang bagaimana revitalisasi ushul fiqih untuk mendukung bangunan Fiqih Kiri. Dan ketiga, tentang apa yang menjadi proyek strategis revolusi sosial dalam rangka menggerakkan Fiqih Kiri dalam dataran praksis.

B. Tujuan dan Orientasi Fiqih Kiri

Fiqih dalam agama Islam menempati posisi kunci sebagai produk pemikiran ulama yang mencoba melakukan intrepretasi atas normativitas teks/nash dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan jamannya. Dalam khasanah fikih klasik dikenal berbagai macam aliran fikih yang mencerminkan kecenderungan para fuqaha dalam melakukan ijtihâd (intellectual exercise). Kecenderungan itu dipengaruhi oleh ragam pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam melakukan ijtihâd . Ada aliran fiqih yang cenderung liberal, karena memberi porsi lebih besar kepada akal untuk terlibat dalam proses ijtihâd , ada aliran yang cenderung literal karena berusaha menempatkan teks sebagai faktor dominan proses ijtihâd .

Berbagai ragam aliran fiqih pada era klasik lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat atau umat saat itu ketimbang sekedar adu argumen berbasis metodologi tertentu yang tidak memiliki nili praksis apapun. Imam Hanafi lebih liberal dalam ber-ijtihâd , karena ia dihadapkan pada dinamika Bashrah yang tinggi, sementara perbendaharaan teks (Qur’an dan Hadis) jumlahnya terbatas. Inilah kondisi yang memberi peluang kepada Imam Hanafi untuk lebih kreatif dalam memainkan eksperimen intelektualnya.

Tetapi yang jelas dari sekian corak dan ragam pemikiran fiqih yang muncul pada jamannya, pemikiran itu mencerminkan bentuk solusi kongkret problem masyarakat yang dapat dijadikan pedoman bagi umat dalam menyelesaikan problem-problem itu. Inilah yang dimaksud oleh Hasan Hanafi dengan nilai praksis pemikiran keagamaan,[7] sebuah segmen yang sering diabaikan oleh para pemikir yang lebih senang bergulat dengan wacana yang terkadang tidak memiliki bobot implementasi di lapangan.

Fiqih Kiri yang menjadi diskursus inti dalam kajian tulisan ini tentu saja memiliki tujuan dan orientasi sebagai bagian dari upaya mengarahkan Fiqih Kiri ke arah pemikiran keagamaan yang memiliki nilai praksis. Wacana Fiqih Kiri sewarna dengan wacana Islam Kiri yang sudah digagas luas oleh Hasan Hanafi maupun beberapa pemikir lain yang menempatkan Islam sebagai kekuatan kritik sosial dan revolusi. Fiqih Kiri pun diarahkan kepada bentuk pemikiran fiqih yang mempunyai keberpihakan yang jelas kepada pihak yang teraniaya dan tertindas. Fiqih Kiri di sini harus dapat memberi panduan kepada umat untuk dapat memformulasikan bentuk-bentuk perlawanan kepada kedhaliman sebagai manifestasi perjuangan menegakkan keadilan dan kemashlahatan di muka bumi.

Adalah Prof. KH. Ali Yafie[8] dan KH. Sahal Mahfudz[9], ulama fiqih Indonesia yang pernah melontarkan pemikiran tentang fiqih sosial. Fiqih sosial dalam bayangan mereka adalah fiqih yang mempunyai orientasi sosial, yaitu senantiasa memberi perhatian penuh kapada masalah-masalah sosial. Fiqih bukan saja seperangkap hukum yang mengatur bagaimana orang melaksanakan ibadah mahdhah kepada Allah, tetapi bagaimana pula seseorang melaksanakan interaksi sosial dengan orang lain (muamalah) dengan berbagai macam dimensi ; politik, ekonomi, budaya dan hukum.

Fiqih sosial, begitu Fiqih Kiri, memiliki asumsi bahwa fiqih adalah al-ahkam al-amaliyah (hukum perilaku) yang bertanggungjawab atas pernik-pernik perilaku manusia agar selalu berjalan dalam koridor kebajikan dan tidak mengganggu pihak lain sehingga kemashlahatan dapat terwujud. Dalam kapasitas ini, kebenaran fiqih diukur oleh relevansinya dalam membawa masyarakat ke arah yang lebih makmur, dinamis, adil, dan beradab (mashlahat).

Fiqih Kiri dalam konteks ini, berseberangan dengan fiqih yang selama ini diasumsikan sebagai sesuatu yang statis untuk mendukung stabilitas dalam masyarakat. Lagi-lagi ini adalah sebagai akibat dari bias kepentingan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk melanggengkan hegemoni kekuasaan maupun pengetahuannya. Fiqih yang diposisikan sebagai medium harmoni macam ini, akan terjebak pada arus yang tidak seirama dengan kepentingan rakyat banyak.[10]

Penguasa memang mempunyai kepentingan yang kuat untuk mengukuhkan hegemoni kekuasaannya, tanpa peduli apa yang ia lakukan itu bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kemashlahatan masyarakat. Tak jarang penguasa melakukan kolaborasi dengan pihak penguasa agama (ulama) agar kebijakan yang ia telorkan memiliki bobot legitimasi yang kuat. Aneka kebijakan pembangunan dengan menggusur rumah-rumah kumuh yang notabenenya dimiliki oleh rakyat jelata dan papa, diamini oleh ulama rezim dengan dalih untuk kemashlahatan umum, yaitu ketertiban tata kota.[11] Tentu saja ini fenomena yang sangat mencengangkan, dilihat dari perspektif peran ulama yang semestinya lebih berpihak kepada rakyat kecil ketimbang penguasa yang sering menindas rakyatnya. Sehingga fiqih yang keluar dari pemikiran ulama model ini sarat dengan kepentingan kelas tertentu, dan sama sekali tidak menyentuh akar kebutuhan rakyat.

Fiqih Kiri mempunyai orientasi dan misi pembebasan sebagaimana yang menjadi cita-cita Islam progresif. Pembebasan dan Fiqih Kiri bermakna melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap tatanan sosial yang penuh penyimpangan dan ketidakadilan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul dahulu. Masing-masing Nabi dan Rasul mendapat tugas risalah yang muaranya adalah pembebasan manusia dari belenggu kedhaliman dan tirani.

Unsur-unsur pembebasan dalam Islam dapat dilacak pula pada diri Nabi Muhammad saw, Nabi dan Rasul pamungkas dari kesekian Nabi dan Rasul yang pernah diutus Allah di muka bumi. Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang dengan sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang miskin yang penghidupannya tergantung pada pendapatan mereka yang kecil dari pekerjaan melayani karavan-karavan dagang yang melalui kota itu. Orang-orang masih bodoh dan bertakhayul, menyembah banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas, bahkan mereka dapat dikubur hidup-hidup.[12] Ada banyak budak, para janda dan anak yatim yang diabaikan tanpa ada yang peduli terhadap nasib mereka. Nabi sendiri berasal dari keluarga miskin, meskipun bangsawan. Ia diutus oleh Allah untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia dipaksa oleh kaumnya melarikan diri dari Mekkah ketika pesannya yang membebaskan ditolak dan dia kembali dengan pasukan pembebas untuk menagakkan keadilah. Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di samping membebaskan diri mereka sendiri, juga berusaha membebaskan orang-orang dari kerajaan Romawi dan Persia yang menindas.[13] Dari praksis inilah tradisi pembebasan Islam muncul.

Rasulullah saw., yang secara harfiyah berarti manusia yang terpuji, adalah nabi terakhir dan merupakan sang revolusioner pertama di zaman ini. Dia membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan lemah. Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia.[14]

Rasul mendirikan sebuah tatanan sosial yang egaliter di mana alat-alat produksi yang mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan oleh semua orang secara kolektif karena semua komunitas yang berdasarkan pada kebenaran dan kesetaraan tidak mengenal penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya seperti sumber air, tambang-tambang, kebun buah-buahan dan lain-lain, yang kepadanya masyarakat menggantungkan hidup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka.

Untuk meningkatkan kesetaraan sosial dan persaudaraan manusia, Muhammad Saw., dengan ajaran-ajaranya, mendorong emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama Islam yang pertama terutama adalah budak-budak, mawali (budak yang telah dimerdekakan), para wanita dan anak-anak yatim. Sehingga banyak sahabat yang dulunya adalah seorang budak. Mereka diantaranya adalah Bilal, Syu’aib, salman, Zaid bin Haritsah, Abdullah ibn Mas’ud, dan ‘Ammar bin Yassir.[15]

Nabi Muhammad berjuang dengan gigih dan gagah berani membebaskan umat manusia yang menderita karena perbudakan oleh orang-orang yang zalim, orang yang mengeksploitasi orang lain, para bangsawan, para pemilik budak dan para ahli agama. Ia mengangkat harkat manusia dari jurang tahayul, kelemahan dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh syirik, rasa takut, nafsu yang liar, egoisme, arogansi dan nafsu kebendaan.[16]

Nabi-nabi sebelum Muhammad seperti Musa, Isa, Ibrahim dan yang lainnya, adalah pula para pemberontak dan revolusioner yang melakukan revolusi melawan penindasan, diskriminasi kelas, korupsi, dan kezaliman pada lingkungan sosialnya masing-masing. Mereka berjuang sepanjang hidupnya untuk kebenaran, kesetaraan, keadilan, dan kebaikan. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa tujuan perjuangan mereka adalah menghapuskan penindasan (zulm) dalam segala bentuknya :

“Sebelum mereka kami sudah mengutus orang-orang yang kami beri wahyu. Tanyakanlah kepada mereka yang berilmu jika kamu tidak tahu. Kami tidak memberikan tubuh kepada mereka yang tidak memakan makanan, dan mereka tidak pernah hidup kekal. Kemudian Kami penuhi janji kami dan Kami selamatkan mereka dan siapapun yang Kami sukai; tetapi Kami binasakan mereka yang sudah melampui batas. Kami telah mewahyukan kepadamu (hai manusia !) sebuah kitab yang bersi pelajaran bagimu; tidaklah kamu mengerti ? Dan sudah ebrapa banyak penduduk yang Kami hancurkan karena perbuatan mereka yang sewenang-wenang, dan Kami adakan sesudah mereka kaum yang lain ! Setelah mereka merasakan azab dari Kami, ternyata mereka lari menghindarinya. Jangankan kamu lari, tetapi kembalilah kepada kesenanganmu, dan tempat-tempat tinggalmu, supaya kamu dapat ditanyai. Mereka berkata; “Ah, memang kami dulu berbuat sewenang-wenang!” Memang itulah keluhan mereka selalu, sehingga kami jadikan mereka seperti tanaman habis dituai, padam dan tak dapat hidup lagi.”[17]

Secara harfiyah, zulm berarti memindahkan/meletakkan sesuatu atau seseorang pada tempat yang tidak semestinya, atau mencabut sesuatu atau seseorang dari bagian atau haknya yang semestinya. Jadi zhulm adalah sesuatu disequilibrium (ketidakseimbangan), disharmoni, penghapusan, atau gangguan dalam tatanan alam, harmoni, harmoni atau equilibrium segala sesuatu.[18]

Al-Qu’an mendefinisikan zhâlimun, para penindas, adalah orang-orang yang mengingkari Allah (juga kebenaran, keadilan dan kesetaraan).[19] Mereka adalah “ yang ingkar akan tanda-tanda Allah dan membunuh nabi-nabi tanpa sebab dan membunuh mereka yang menyuruh orang berbuat adil ..”[20]. Al-Qu’an mengumpamakan keadaan para penindas itu seperti panen yang gagal karena dirusak oleh hawa yang membeku :

“Mereka yang kafir, harta dan anak-anak mereka yang sedikitpun tak berguna dalam pandangan Allah. Mereka menghuni api neraka, di sana mereka tinggal selama-lamanya. Perumpamaan segala apa yang mereka nafkahkan dalam hidup di dunia ini seperti angin dingin menimpa tanaman suatu golongan yang menganiaya diri. Bukan Allah yang menganiaya mereka tetapi mereka menganiaya diri sendiri[21].”( Q.S. Ali Imran : 116 – 117)

Ali Shariati, seorang pengagum dan pengkritik Karl Marx, menyatakan bahwa dalam sejarah selalu ada pertarungan dua pihak, penguasa yang zhâlim dengan Islam yang membela kaum tertindas. Dalam sejarah, kata Ali, betapa banyak kisah pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas (mustad’afin), seperti kisah Nabi Daud, Musa, dan Muhammad. Dia juga mengatakan Islam Kanan yang membungkus agama untuk berlindung dibawah kemapanan kekuasaan yang zhâlim, dan Islam Kiri yang memakai Islam sebagai kritik dan alat menghancurkan kezaliman dan membela orang kecil.[22]

Tetapi yang perlu mendapat cacatan tebal di sini adalah bahwa Fiqih Kiri, sebagaimana pula Islam kiri, bukanlah fiqih yang dibungkus Marxisme, karena hal itu berarti menafikkan makna revolusioner Islam dan fiqihnya serta mengingkari tuntutan kaum muslimin terhadap kemerdekaan, persamaan dan keadilan sosial. Fiqih Kiri – sebagaimana pula Islam kiri – bukan pula Marxisme yang berbaju Islam, karena hal itu berarti pengecut. Dan bukan pula pertautan ekletik keduanya. Karena pertautan yang demikian itu mencerminkan pemikiran yang tidak mengakar dan tercerabut dari realitas rakyat. Tidak ada sedikitpun pengaruh Marxisme dalam Fiqih Kiri, baik dalam bentuk maupun substansi. Ia murni merefleksikan kebutuhan kaum Muslimin yang selama ini tertindas, dengan menggali akar-akar revolusioner dalam ajaran Islam melalui upaya revitalisasi teori-teori yang selama ini digunakan sebagai landasan pijak pemikiran Islam.[23]

Itulah yang menjadi tujuan dan orientasi Fiqih Kiri; fiqih yang selalu berpihak kepada mereka yang ditindas, teraniaya, miskin (atau termiskinkan, mustadh’afîn). Melalui formulasi Fiqih Kiri, problem-problem mendasar dalam kehidupan masyarakat dapat diselesaikan melalui rumusan-rumusan hukum dan fatwa agama yang selalu membela kepentingan rakyat banyak. Mashlahât al-âmmah (kemaslahatan umum) menjadi barometer dan landasan asasi dalam merumuskan Fiqih Kiri. Untuk itu dalam analisis selanjutnya akan diuraikan bagaimana Ushûl fiqh direvitalisasi untuk menghasilkan landasan teoritik fiqih yang tidak statis tetapi dinamis, tidak konservatif tetapi progresif.

C. Revitalisasi Ushûl fiqh

Problem mendasar ketika fiqih hendak diposisikan pada tataran yang lebih progresif dan dinamis adalah problem metodologi. Pada problem ini, Ushûl fiqh sebagai landasan teoritik bangunan pemikiran fiqih, terjebak pada pergulatan kaidah-kaidah bahasa, seolah-oleh para pakar yang terlibat dalam pergulatan itu sedang mencoba untuk memahami maksud nash yang di dalamnya ada pikiran Tuhan. Inilah terdapat paradoks yang sulit dimengerti ; Bagaimana pikiran Tuhan dipahami pada tataran bahasa yang notabene-nya adalah ciptaan manusia. Pertanyaan filosofis lebih lanjut adalah; apakah fiqih yang bersumber kepada kemaslahatan, harus sesuai dengan mashlahât nya Tuhan? Bukankah ukuran kemaslahatan itu ada di bumi, karena pada hakekatnya manusia yang merasakan sesuatu itu mashlahât atau bukan?

Pada intinya, Fiqih Kiri membutuhkan revitalisasi Ushûl fiqh, agar fikih kiri tidak terjebak pada kungkungan Ushûl fiqh klasik yang languange-oriented, tetapi mengabaikan fakta-fakta empirik di lapangan. Pendekatan Ushûl fiqh yang lebih condong ke deduktif, misalnya, direorientasi kepada pendekatan induktif dan empiris yang lebih dekat pada problem-problem real masyarakat, bukan masyarakat yang terus-menerus dipaksa sesuai dengan teks.

Ada dua proyek revitalisasi yang akan dibahas dalam tulisan ini, diantaranya adalah menempatkan mashlahat sebagai landasan syari’at, dan rekonstruksi teori qath’i –zhannî atau muhkamât-mutasyabihât. Berangkat dari dua proyek revitalisasi ini, mencoba untuk diproyeksikan bangunan fiqih yang mempunyai keberpihakan yang jelas dan otentik pada rakyat banyak tanpa harus terjebak pada problem-problem metodologis.

1. Kemaslahatan Sebagai Landasan Syarî’at

Syarî’at[24] pada prinsipnya mengacu kepada kemaslahatan manusia. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ulama Ushûl fiqh, setiap hukum (Syarî’at) itu terkandung kemaslahatan bagi hamba Allah (manusia), baik kemaslahatan itu bersifat duniawi maupun ukhrawi. Oleh karena itu setiap mujtahid dalam meng-istinbat-kan (menyimpulkan) hukum dari suatu kasus yang dihadapi, harus berpatokan kepada tujuan-tujuan syara’ dalam menSyarî’atkan hukum, sehingga hukum yang akan ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.[25]

Masdar Farid Mas'udi adalah salah satu pemikir muslim Indonesia yang menempatkan kemaslahatan dan keadilan sebagai landasan Syarî’at, baik landasan filosofi maupun epistemologinya. Masdar berpendapat bahwa hukum (legal) haruslah didasarkan kepada sesuatu yang tidak disebut hukum[26] , akan tetapi didasarkan kepada yang lebih mendasar dari sekadar hukum. Yaitu, demikian kata Masdar, sebuah sistem nilai yang dengan sadar diambil sebagai sebuah keyakinan yang harus diperjuangakan ; yakni kemaslahatan, keadilan.[27] Untuk selanjutnya di bawah ini adalah pembahasan tentang mashlahât secara lebih detail dan konprehensip.

Mashlahât secara terminologi adalah sesuatu yang bermanfaat, baik dengan menarik sesuatu atau menghasilkan sesuatu, seperti menghasilkan manfaat dan kebahagiaan atau dengan cara menolak, seperti menjauhkan dari kemadharatan dan penyakit.[28]

Mashlahât menurut Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, adalah suatu ketentuan yang dalam merumuskan hukum dengan menarik manfaat dan menolak mafsadât dari manusia.[29] Sedangkan al-Khawârizmi mendefinisikan mendefinisikan mashlahât adalah memelihara maqâsid asy-syarî’ah dengan menolak mafsadât dari umat.[30] Al-Buti memandang memandang mashlahât adalah suatu manfaat yang dikehendaki oleh syari’ untuk hamba-Nya dengan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[31] Asy-Syâtibî mendifinisikan mashlahât sesuatu yang merujuk atau dikembalikan kepada tegaknya kehidupan manusia.[32]

Sementara al-Gazâli mendefinisikan :

Yang sama maksud dengan mashlahât adalah memelihara tujuan syara’. Dan tujuan syara’ kepada makhluq ada lima, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Dengan demikian, semua yang mencakup pemeliharaan dasar-dasar yang lima ini adalah mashlahât dan semua yang tidak mencakup dasar-dasar ini adalah mafsadah dan menolak mafsadât adalah suatu kemaslahatan.[33]

Dalam pengertian tersebut, al-Gazâli tidak memaknai mashlahât secara ‘urfi. Yang dia maksud adalah menarik manfaat atau menolak kesulitan menurut maqâsid asy-Syar’iyyah, bukan kemanfaatan dan kesulitan itu sendiri. Dalam hal ini terkadang menusia memandang sesuatu bermanfaat, sedang menurut pandangan syar’i adalah merusak (mafsadât ) atau sebaliknya. Dengan demikian, tidak ada kepastian antara mashlahât dan mafsadât menurut ‘urf manusia dan ‘urf syar’i. Dengan kata lain mashlahât dalam pandangan al-Gazâli adalah memelihara tujuan syar’i, meskipun bertentangan dengan tujuan manusia. Karena tujuan manusia, ketika bertentang dengan tujuan syari’ dalam suatu kemaslahatan tetentu bukanlah merupakan kemaslahatan, melainkan hawa nafsu yang merasuk ke dalam jiwa.[34] Karena itu mashlahât tidak hanya dipandang dari sudut manusia, tetapi harus melihat pada apa yang telah disebutkan dalam nas.[35]

Memperkuat pendapat al-Gazâli, Wahbah az-Zuhaili memandang bahwa setiap mashlahât dikembalikan kepada usaha memelihara tujuan syara’ yang berdasarkan Al-Qur'an, sunnah dan ijma’. Apabila mashlahât difahami seperti itu, maka tidak ada perbedaan pendapat untuk memeganginya sebagai hujjah.[36] Az-Zuhaili lalu menjelaskan dengan lebih jelas sebagaimana terkutip sebagai berikut,

Karena manusia berbeda-beda dalam menentukan kemaslahatan sesuai dengan terwujudnya kemanfaatan zati (sesungguhnya), bukan menolak kemaslahatan yang sudah disepakati, maka dalam pemberlakuan hukum hendaknya ada keseimbangan keadilan antara manusia dalam menentukan mashlahât dan manfaat. Dari sinilah menjadi jelas keperluan untuk menentukan mashlahât berdasarkan ketentuan syara’, dengan tidak boleh dibebankan kepada individu tertentu. Dengan demikian dapat difahami hukum yang sesuai dengan watak manusia.[37]

Hasan Hanafi dalam hal ini telah mengembangkan paradigma fiqih dan ushul fiqh Maliki, karena menggunakan pendekatan kemaslahatan (maslahah mursalah) serta membela kepentingan umat Islam. Paradigma ini dikuatkan malikiyah berdasarkan tradisi Abdullah Ibn Mas’ud yang dikembangkan dari Umar Ibn al-Khattab. Hanafi berpendapat bahwa malikiyah lebih dekat dengan realitas untuk mengambil keputusan hukum berdasarkan kemaslahatan umum.[38]

Kiri Islam Hasan Hanafi mengkaji secara kritis seluruh tradisi legislasi (tasyri’) dengan menerima apa yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang sahih, karena Syarî’at pada dasarnya berdiri di atas landasan kemaslahatan.Kemaslahatan merupakan prinsip kajian atas teks Al-Qur'an dan sunnah, ijma’, dan ijtihâd para fuqaha.[39]

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam (fiqih) adalah kemaslahatan. Kemaslahatan manusia yang universal atau dalam ungkapan yang lebih operasional, keadilan sosial. Karena sejak semula, syariat islam tidak memiliki basis (tujuan) lain kecuali kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa Syarî’at Islam dicanangkan demi kebahagiaan manusia, lahir batin, duniawi, maupun ukhrawi semuanya mencerminkan prinsip kemaslahatan.

Munawir Sjadzali dan Ali Yafie memandang bahwa ketentuan-ketentuan dalam bidang mu’amalah terbuka kesempatan bagi pemikiran atau penalaran intelektual dalam mencari pelaksanaan Syarî’at dengan kepentingan masyarakat dan dan prinsip keadilan sebagai dasar pertimbangan dan tolak ukur utama. Karena aspek muamalah diberikan oleh nash dalam bentuk ketentuan yang bersifat umum yang dapat dikembangkan lebih lanjut guna mewujudkan kemaslahatan dan menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan kewajiaban yang berkepentingan secara adil.[40]

At-Tûfî sendiri memandang bahwa ibadah adalah hak Allah, sehingga tidak mungkin dapat diketahui kecuali dari Allah sendiri. Berbeda dengan mu’amalah yang merupakan hak manusia yang diberlakukan untuk kemaslahatan manusia sendiri. Penegasan at-Tûfî bahwa mashlahât lebih didahulukan dari pada nash, apabila keduanya saling bertentangan, karena at-Tûfî sendiri menyelesaikannya dengan tahsis dan bayân.[41]

Sementara itu, Masdar F. Mas’udi tidak memandang semua aturan dalam nash dapat dirubah karena kemaslahatan, tetapi Masdar membatasi pada aturan yang bersifat tehnis operasional. Karena bagi Masdar, Syarî’at adalah sarana dan mashlahât adalah tujuannya. At-Tûfî pun berpendapat demikian, bahwa mashlahât adalah sebab yang mendatangkan kebaikan dan kemanfaatan. Penegasan at-Tûfî ini didasarkan kepada prinsip kemaslahatan yang lebih ditujukan pada kemanfaatan manusia.[42] Sedangkan Mustafa Zaid mendahulukan mashlahât dari pada nash, apabila mashlahât itu bersifat qath’i dan darûri, meskipun bukan mashlahât yang kulli.[43]

Dalam kemaslahatan yang menyangkut orang banyak (sosial-obyektif), otoritas yang berhak memberikan penilaian dan sekaligus menjadi hakimnya tidak lain adalah orang banyak yang bersangkutan, memalui mekanisme syûrâ untuk mencapai kesepakatan (ijma’). Jadi, apa yang disepakati oleh orang banyak dari proses pendefinisian mashlahât melalui musyawarah itulah hukum yang sebenarnya. Kesepakatan orang banyak, dimana kita merupakan bagiannya itulah hukum yang tertinggi.[44]

Jadi, apa yang disepakati oleh orang banyak dari proses pendefinisian mashlahat melalui musyawarah itulah hukum yang sebenarnya. Kesepakatan orang banyak bahwa hukum tertinggi yang mengikat. Apabila kesepakatan hukum dicapai dalam musyawarah, maka ia berfungsi sebagai hukum yang secara positif mengikat. Sebaliknya, apabila tidak tercapai kesepakatan dalam musyawarah, maka daya ikatnya tentu saja hanya terbatas pada orang-orang yang mempercayainya yang hanya bersifat moral-subyektif, bukan formal obyektif. Patut disayangkan fiqih Islam yang tidak menaruh perhatian yang serius terhadap lembaga Syûrâ (musyawarah) sebagai mekanisme untuk mencapai kesepakatan umat. Bahkan dikatakan, ijma’ sudah tidak ada lagi.

Dalam masalah ini, Fazlur Rahman pun menyayangkan sikap kaum muslimin yang telah dikuasai otokrat-otokrat politik yang menyatakan bahwa musyawarah bersama (syûrâ) yang diajarkan oleh al-Qur’an tidak pernah dilembagakan. Padahal, menurut Rahman, dalam wawasan egaliternya mengenai badan sosial dan badan politik Islam, misalnya al-Qur’an telah menetapkan bahwa kaum muslimin harus memutuskan urusan-urusan mereka lewat musyawarah bersama atas pijakan yang sama.[45] Rahman memandang kelompok dalam ahl as-Syûrâ adalah ahl al-hall wa al-‘aqd sampai akhirnya disebut ahl asy-Syaukah, yakni orang yang berpengaruh dalam masyarakat. Jika dilihat dari jarak antara perkembangan politik yang sesungguhnya di dalam sejarah Islam dan tuntutan al-Qur’an akan ditemukan jurang yang benar-benar menganga. Al-Qur’an menuntut diskusi timbal balik dalam pengambilan keputusan. Tetapi, pengertian syûrâ tersebut dalam praktek mengalami distorsi makna. Yakni, dengan cara kepala negara mengangkat dan memilih orang-orang tertentu yang mempu berpikir dan berpengaruh.[46]

2. Rekonstruksi teori muhkamât dan mutasyâbihât atau qath’i dan zhannî

Setelah menjelaskan bahwa kemaslahatan atau keadilan menjadi muara dari diberlakukannya hukum Islam, untuk kepentingan membangun fikih kiri, seperti Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Asad, kajian selanjutnya adalah menempatkan ayat muhkamât dan mutasyâbihât atau qath’i dan zhannî sebagai kunci pembuka dalam memahami al-Qur’an.[47]

Dalam kitab-kitab Ushûl fiqh, telah disepakati para ulama usûl, bahwa qath’i adalah yang secara tegas telah ditentukan oleh nash. Dalam pengertian yang lebih sesuai, qath’i dalam hukum Islam adalah sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental, yakni nilai kemaslahatan atau keadilan, yang notabene adalah jiwanya hukum. Ajaran qath’i adalah ajaran yang bersifat prinsip dan absolut, sebutlah misalnya ajaran-ajaran tentang kebebasan dan pertanggungjawaban individu, kesetaraan manusia (tanpa memandang jenis kelamin, warna kulit dan suku bangsa) di hadapan Allah. Juga ajaran tentang keadilan, persamaan manusia di hadapan hukum, tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, kritik dan kontrol sosial, menepati janji dan menujunjung tinggi kesepakatan, tolong-menolong untuk kebaikan, yang kuat melindungi yang lemah, musyawarah dalam urusan bersama, kesetaraan suami-istri dalam keluarga, dan saling memperlakukan yang ma’ruf (mu’âsyarah bi al-ma’ruf) diantara mereka berdua. Semua ajaran ini bersifat prinsip dan fundamental. Kebenaran dan keabsahannya pun tidak memerlukan argumen di luar dirinya. Nilai-nilai tersebut di atas membenarkan dan mengabsahkan dirinya sendiri.

Ayat-ayat qath’i ini kandungannya bersifat prinsip dan menjadi kekuatan moral-etik yang tidak diperselisihkan oleh berbagai kelompok atau menjadi lintas madzab dan agama. Karena itu, kebenarannya tidak dapat diperselisihkan. Dengan mendasarkan kepada ayat ini, tentu tidak kehilangan referensi tesktual sebagai dasar, sehingga tidak lepas dari kerangka acuan dalam merumuskan hukum.[48]

Dalam bahasa lain, istilah qath’i dan zhannî disebut juga muhkamât dan mutasyâbihât.[49] Dengan pendekatan transformatif, mengkaji ulang konsep muhkamât dan mutasyâbihât adalah penting sebagai pembuka bagi seluruh bangunan pemahaman terhadap ayat-ayat, yang berarti pemahaman ayat-ayat itu sendiri secara keseluruhan. Bertitik tolak dari mempersepsikan ayat sebagai “perlambang dari kebenaran” yang dipesankannya, maka pendekatan transformatif mendefinisikan ayat muhkamât dan mutasyâbihât bukan dari sudut verbal bahasa, melainkan dari sudut substansi makna yang dikandungnya. Ayat muhkamât adalah ayat yang menegaskan prinsip-prinsip secara eksplisit maupun implisit oleh setiap manusia dami fitrahnya sendiri sebagai manusia.

Sementara zhannî secara harfiyah berarti persangkaan atau hipotesis yang merupakan kebalikan dari yang qath’i (kategoris). Yakni ajaran atau petunjuk agama baik dari al-Qur'an maupun hadis Nabi yang bersifat jabaran (implementatif) dari prinsip-prinsip yang universal. Ajaran zhannî tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri, tidak self evident dalam bahasa filsafatnya. Karena itu, berbeda dengan yang qath’i, ajaran zhannî terikat oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi. Yang masuk kategori zhannî adalah seluruh ketentuan batang tubuh atau teks, ketentuan normatif yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menterjemahkan yang qath’i (nilai kemaslahatan atau keadilan dalam kehidupan nyata.

Yang Jelas ketentuan-ketentuan agama yang dalam fiqih disebut sebagai ketentuan hukum (kecuali ketentuan etik-normatif tentang baik-buruk, halal-haram) adalah zhannî. Karena sifatnya zhannî, relatif, ia terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Karena itu, hukum potong tangan bagi pencuri, lempar batu bagi pezina, prosentase pembagian waris, monopoli hak talaq bagi suami, keterlibatan wali dalam nikah, dan ketentuan-ketentuan tehnis lain yang bersifat non-etis, masuk kategori yang zhannî. Dengan demikian, ajaran zhannî bisa dimodifikasi.

Seperti halnya dengan ayat muhkamât, ayat mutasyâbihât pun tidak mempersoalkan apakah dari sudut bahasanya bersifat tegas atau bersifat samar-samar. Yang menjadi titik pijak adalah bagaimana cita keadilan dan kemaslahatan sebagai prinsip yang fundamental diwujudkan.

Akan tetapi, implikasi dari pemahaman yang seperti itu adalah bahwa ayat muhkamât atau qath’i yang bersifat universal tidak memerlukan terobosan ijtihâd . Yang bisa dilakukan terobosan ijtihâd adalah ayat-ayat mutasyâbihât atau zhannî.[50] Yakni definisi tentang mashlahât atau keadilan dalam konteks ruang dan waktu yang nisbi. Kerangka normatif yang memadai sebagai pengejawantahan dari cita kemaslahatan atau keadilan dalam konteks ruang dan waktu tertentu, kerangka kelembagaan yang memadai bagi sarana aktualisasi norma-norma kemaslahatan-keadilan dan realitas sosial yang bersangkutan.

Sudirman Tebba sepakat dengan pemikiran Masdar. Menurutnya, pemahaman qath’i dan zhannî sekarang ini sudah tidak memadai lagi, karena munculnya tantangan baru dalam kehidupan sosial. Akibatnya membuat umat Islam berpegang kepada pengertian yang tersirat atau semangatnya, bukan pada yang tersurat menurut bahasa suatu nas atau ayat, sehingga yang semula dianggap qath’i menjadi tidak qath’i lagi.[51]

Kesempurnaan ajaran al-Qur'an bukanlah dalam dataran tehnis yang bersifat detail, rinci dan juziyyahnya, melainkan pada dataran prinsipil dan fundamental. Dan ajaran-ajaran prinsipil yang dimaksud dalam al-Qur'an selaku kitab suci agama adalah ajaran spiritualitas dan moral, ajaran tentang mana yang baik dan mana yang buruk untuk kehidupan manusia sebagai hamba Allah yang berakal budi.[52] Sebagai acuan moral dan etika yang bersifat dasariah, al-Qur'an sepenuhnya sempurna. Pesoalan apa pun yang muncul dalam kehidupan manusia yang dinamis dan terus berubah bisa dicarikan jawabannya (dari sudut moral) dengan mengembalikan kepada ajaran-ajaran al-Qur'an yang prinsipil. Karena itu untuk menangkap petunjuk al-Qur'an atas persoalan-persoalan etika yang dihadapi dalam kehidupan nyata, terlebih dahulu harus mengenali prinsip-prinsip universal yang dicanangkannya.

D. Proyek Strategis Revolusi Sosial

Para ahli ushul (ushuliyyun) menyebut kesadaran praksis dari sebuah proses intellectual exercise (ijtihâd ) sebagai “buah”. Proses ijtihâd itu sendiri, dalam epistemologi interpretasi Hasan Hanafi melewati tiga tahap kerja hermeneutis; pertama, penguatan kesadaran historis, yaitu setelah melakukan uji otentisitas terhadap nash. Kedua penguatan kesadaran eidetis dalam bentuk validitas pemahaman dan interpretasi hermeneutik. Dan ketiga, kesadaran praksis datang terakhir untuk menanfaatkan ketentuan-ketentuan hukum, signifikansi perintah-perintah dan larangan-larangan, dan transformasi wahyu dari ide normatif ke gerakan sejarah.[53]

Bagi Hanafi, praksis merupakan penyempurnaan kalam Tuhan di dunia mengingat tidak ada kebenaran teoritis dari sebuah dogma atau kepercayaan yang datang begitu saja; dogma lebih merupakan suatu gagasan atau motivasi yang ditujukan untuk praksis.[54] Hal ini karena wahyu al-Qur’an sebagai dasar dogma merupakan motivasi bagi tindakan di samping sebagai obyek pengetahuan.[55]

Sebuah dogma, kata Hanafi, hanya dapat diakui eksistensinya jika disadari sifat keduniaannya sebagai sebuah sistem ideal, namun dapat terealisasi dalam tindakan manusia. Karena, satu-satunya sumber legitimasi dogma adalah pembuktian yang bersifat praksis Menurut Hanafi, realisasi wahyu dalam sejarah melalui perbuatan manusia sama dengan realisasi perbuatan ilahiyyah dan, dengan sendirinya, merupakan realisasi perbuatan kekuasaan (khalifah) Tuhan di atas bumi. Prinsip yang sama menjadi dasar penciptaan dan penerapan hukum-hukum Tuhan (al-ahkâm al-Syar’iyyah) di dunia. Itulah sebabnya mengapa yurisprudensi (‘ilm Ushûl fiqh) dianggap ‘ilm al-tanzîl, yang dibedakan dari ‘ilm al-ta’wîl dalam tradisi sufisme. Sebab yang terakhir ini menginginkan gerak dari manusia ke Tuhan, sementara yurisprudensi menginginkan transformasi Tuhan kembali menuju kehidupan manusia.[56]

Fiqih Kiri dalam pembahasan ini juga ingin menjadi seperangkat aturan-aturan transenden yang mempunyai bobot praksis sebagaimana dogma dalam perbincangan dengan Hassan Hanafi di atas. Tentu saja praksisme fikih kiri bertitik tolak dari landasan teoritis fikih, yaitu teori-teori Ushûl fiqh yang sudah direvitalisasi.

Fiqih Kiri mengambil perhatian utama bahwa suburnya ketidakadilan di muka bumi ini bukan semata-mata karena kondisi internal, tetapi yang jauh lebih menentukan adalah justru faktor eksternal yang seringkali memunculkan menjadi pihak hegemonik-despotik baik di lingkup nasional maupun internasional. Bukan saja Fiqih Kiri ingin memuaskan rakyat yang dahaga akan keadilan melainkan juga menjadi jalan bagi permintaan tanggungjawab negara yang mengabaikan tugas-tugas pokoknya. Justru kehadiran Fiqih Kiri menjadi relevan bukan saja pada rezim yang represif, melainkan pada rezim yang menggantungkan posisinya di tiang gantungan badan-badan Internasional. Namun untuk menjelma menjadi gerakan yang meluas dan mendapat dukungan, Fiqih Kiri, patut untuk merintis beberapa praktek yang akan mendekatkannya pada tujuan utama, terciptanya tatanan keadilan. Di sinilah pentingnya untuk merumuskan agenda revolusi sosial sebagai bagian dari praksime Fiqih Kiri.

Bicara soal hukum di Indonesia pastilah yang muncul adalah kejengkelan dan kekecewaan. Tidak saja hukum berlaku secara diskriminatif, melainkan juga tidak lagi mampu menjalankan fungsi pengawas atas berbagai tindakan penyelewengan. Hukum sering diberlakukan sebagai alat kepentingan, buat siapa saja, bisa negara dan lebih sering untuk melindungi kepentingan pemodal. Dalam praktek hukum, sudah cukup banyak contoh bagaimana orientasi keadilan diselewengkan dan malah muncul gejala untuk menerima dan mentolerirnya.[57] Terdapat banyak kisah yang bisa dijejer tentang bagaimana cerita memilukan para pencari keadilan. Mereka yang biasanya kaum miskin, terlunta dan tidak mendapat dukungan, justru sering menjadi alat mainan dan sasaran pemerasan, baik oleh aparat hukum maupun bunyi hukum itu sendiri.

Dalam kasus di atas, Fiqih Kiri bisa tampil sebagai inspirator bagi gerakan-gerakan Islam untuk segera memberi bantuan hukum dalam kasus-kasus sejenis di atas. Islam sendiri mengajarkan agar umat selalu berada bersama-sama dengan kaum dhu’afa (lemah) dan mustadh’afîn (teraniaya). Tujuan pemihakan Islam pada dua golongan ini karena prinsip keadilan dan kemaslahatan yang hendak dijunjung tinggi. Kata dhu’afa (orang kecil)[58] dipakai dalam al-Qur’an untuk melukiskan kesenjangan natural atau kemiskinan, sedang kata mustadh’afîn (teraniaya)[59] dipakai untuk menunjukkan adanya kesenjangan struktural. Untuk dua kategori inilah, al-Qur’an meminta kaum muslimin untuk serius membelanya, bahkan untuk sebuah kesenjangan struktural, kata perintah yang dipakai adalah “berperanglah”. Dengan merujuk pada kedua komitmen itu, maka sudah saatnya keberpihakan mewujud secara kongkret. Sebab keadaan yang menimpa kedua golongan ini bukan semata-mata karena salahnya mereka, melainkan banyak yang disebabkan oleh penindasan struktural, seperti bagaimana tanah yang dimiliki dirampas untuk “kepentingan umum”.

Sampai saat ini dapat disaksikan secara gamblang bagaimana kebijakan publik yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak terus berlangsung dan posisi umat Islam ternyata belum mampu untuk menjadi ‘pelindung dan pembela’ kaum lemah. Lemahnya gerakan Islam dalam mengambil peran ‘pembelaan’ ini disebabkan oleh banyak faktor : Pertama, adanya ‘daya kooptasi’ dari berbagai lembaga-lembaga keuangan internasioanl yang melemahkan sektor ekonomi rakyat seperti tukang becak, pedagang kaki lima, nelayan, maupun buruh. Ketidakmampunan menatap gerak modal yang berskala internasional dan konsolidasi aparatus negara telah membelenggu umat Islam untuk tidak ‘bergerak’ melakukan pembelaan. Kedua, lemahnya basis kesadaran fakta sosial pada kalangan umat Islam karena belenggu kesadaran individual yang lebih mendominasi. Sehingga jarang didengar umat Islam mempunyai solidaritas dengan tuntutan kenaikan upah buruh, protes kepemilikan tanah oleh petani atau tuntutan pengusutan pelanggaran HAM. Kesadaran individual ini mengakibatkan umat Islam berada dalam posisi yang teralienasi dari proses perjuangan sosial. Ketiga, tidak diketemukan kekuatan sosial yang wujudnya lembaga agama yang mampu menjadi komunikator ulung dalam menyiarkan berbagai persoalan ke publik. Kalangan umat beragama benar-benar dalam posisi terpinggirkan untuk beberapa isu strategis terutama menyangkut hukum dan HAM.[60]

Berangkat dari persoalan itulah, maka kesadaran untuk menumbuhkan kekuatan kritis pada diri gerakan Islam perlu untuk dirintis. Sebab pada hakekatnya, ajaran Islam memberikan kepastian perlindungan kepada kaum lemah dalam lima aspek penting.[61] Pertama, yang paling pokok adalah perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup (hifzh al-nafs). Kedua, perlindungan atas keyakinan (hifzh al-din), sehingga pada hakekatnya menekankan pada ajaran ‘tidak ada paksaan’ dalam memeluk keyakinan. Ketiga, perlindungan terhadap akal pikiran (hifzh al-‘aql), yang mana Islam memuliakan pengetahuan dan menentang pelanggaran terhadap akal sehat. Keempat, perlindungan terhadap hak milik (hifzh al-mal), yang dalam konteks hukum Islam adalah keharaman mencuri dengan segenap variannya, termasuk korupsi tentunya. Kelima, hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik (hifzh al-nasl).

Kelima ketentuan ini yang menjadi dasar advokasi bagi gerakan-gerakan Islam. Fiqih Kiri bisa menjadi landasan pijak melalui fatwa yang disampaikan oleh ulama, baik perorangan maupun yang terhimpun dalam lembaga-lembaga ulama dan organisasi massa keagamaan. Fatwa yang mewajibkan bagi setiap muslim untuk mengambil peran-peran advokasi diharapkan bisa efektif karena menyentuh aspek kesadaran keagamaan yang paling dalam, hal ini juga didorong oleh langkah untuk mengakomodasi tuntutan mayoritas umat yang selama ini banyak menjadi korban. Advokasi adalah strategi dakwah yang mampu mengatasi sekularisasi subyektif[62] maupun obyektif[63] yang muncul seiring dengan pertumbuhan industrialisasi. Dengan advokasi dakwah berjalan sesuai dengan tuntutan arus bawah yang sementara ini sering menjadi kendaraan kepentingan berbagai kelompok. Advokasi juga menjadi alat menekan efektif umat terhadap elit politik yang sering mengatakan berjuang atas nama Islam.

Dakwah yang dikumandangkan oleh umat dewasa ini lebih banyak berkutat pada penyadaran individual yang terkait dengan ibadah kepada Allah. Bahkan ada kelompok umat yang berpendapat bahwa seolah-olah masalah umat yang paling krusial adalah minimnya jumlah jamaah di masjid, sehingga ketika masjid penuh dengan jamaah, maka persoalan umat sudah selesai. Dakwah tidak menyentuk aspek struktural yang menjadi biang kesengsaraan umat, sehingga advokasi terhadap korban penggusuran, misalnya, bukan dianggap sebagai bagian dari dakwah yang diperintahkan oleh Allah. Hal ini memerlukan shift paradigm (pergeseran paradigma) di kalangan umat tentang makna dakwah dan jihad. Dan Fiqih Kiri mempunyai tugas memberi landasan normatif pergerseran paradigma itu, sehingga gerakan dakwah di kalangan umat Islam bisa menyentuh persoalan inti dalam masyarakat, tidak sekedar memadamkan kabut asap (smoke screen) yang dikiranya sebagai akar masalah yang sesungguhnya.

Transformasi sosial akibat pembangunan sudah terjadi di mana-mana. Karakteristik masyarakat modern sudah tampak dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya : “Apa peran dakwah Islam dalam transformasi sosial ini?” Apa kontribusi dakwah Islam dalam menyelamatkan manusia bukan saja dari tujuh dosa maut, tetapi juga dari proses dehumanisasi yang sekarang tengah berlangsung?”

Berbagai pertanyaan itu tidak akan terjawab kalau umat tidak mempunyai perspektif yang dapat digunakan untuk memotret masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Banyak kasus, umat tidak bisa melihat masalah karena sistem pengetahuannya tidak memungkinkan masalah itu tampak sebagai masalah. Untuk ini, sekali lagi perlu rumusan fiqih yang memungkinkan menjadi semacam perspektif yang dapat digunakan umat untuk mengurai masalah yang sedang terjadi secara tepat. Kemiskinan misalnya, dengan perspektif lama tampak oleh sebagian umat sebagai sesuatu yang wajar, karena itu bagian dari sunnatullah alias taqdir. Jika asumsi ini yang dipegang oleh umat, maka jangan berharap ada upaya-upaya strategis gerakan Islam untuk menyelamatkan umat dari kemiskinan. Fiqih Kiri bisa menjadi perspektif sekaligus tuntunan dalam melihat dan menyelesaikan masalah-masalah ini.

D. Penutup

Fiqih Kiri adalah alternatif atas kebekuan ajaran Islam dewasa ini yang telah dikungkung oleh bentuk-bentuk pemikiran korservatif yang selalu mempertahankan sesuatu yang sudah mapan. Fiqih Kiri merupakan bentuk progresivisme pemikiran Islam yang ingin mengembalikan misi ajaran Islam pada otentisitasnya, yaitu semangat pembebasan. Membebaskan umat dari bentuk-bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan yang telah membuat umat menjadi sengsara dengan kemiskinanya dan keterbelakangannya.

Mungkin ada sedikit kemiripan antara Fiqih Kiri dengan dengan perspektif Marxisme, yakni sama-sama berangkat dari asumsi adanya penindasan dalam masyarakat oleh kelompok tertentu dan perlu upaya strategis untuk melawan dan mengakhiri penindasan itu. Tetapi Fiqih Kiri bukan fiqih yang berbaju Marxisme atau Marxisme yang berbaju fiqih. Fiqih Kiri adalah manifestasi dari semangat pembebasan Islam yang ajaran normatifnya bisa dilacak dalam Kitab Suci (al-Qur’an) maupun contoh dalam perilaku para Nabi dan Rasul (sunnah) yang sempat terekam dalam sejarah.

Pelacakan ajaran pembebasan dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah memerlukan metodologi yang tidak menjebak pada pemahaman yang sebatas tekstual atau literal. Jika terjebak, maka kekayaan dan keunggulan ajaran Islam yang bernilai luhur dan universal akan tertutupi. Metodologi dan pendekatan baru perlu dirumuskan secara serius sebagai alat bantu untuk melakukan reinterpretasi terhadap nash yang memungkinkan ditemukannya nilai-nilai kadilan, kemashlahatan, persamaan, perdamaian dan sebagainya. Dalam hal ini, melakukan revitalisasi ushul fiqh menjadi signifikan dan mempunyai bobot urgensi yang cukup tinggi untuk mendukung upaya-upaya hermeneutis ini.

Pada akhirnya, semua berpulang kepada kesungguhan para ulama, cendekiawan dan umat Islam secara keseluruhan untuk mewujudkan Fiqih Kiri ini menjadi kekuatan dalam melakukan revolusi sosial. Sebuah revolusi yang dimaksudkan untuk merekonstruksi tatanan sosial masyarakat sehingga lebih memungkinkan tumbuh kembangnya nilai-nilai kemaslahatan dalam masyarakat. Sehingga masyarakat yang adil, makmur, tanpa penindasan, dapat diwujudkan.

DAFTAR PUSTAKA

A.H. Ridwan, Pemikiran Hasan Hanafî tentang Rekonstruksi Tradisi Keilmuan Islam, cet.I, Yogyakarta : Ittiqa Press, 1998

Abd Wahhab Khallaf, Ushul al-Fiqh, Kuwait : Dar al-Qalam, 1978

Abdul Aziz Dahlan et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.I, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996

Abdul Hamid Abu Sulayman, “Fiqih Islam”, dalam Syamsul Anwar (Ed), Islam, Negara dan Hukum, Cet. I, Jakarta : INIS, 1993

Abdul Wahab Khalaf, Masâdir at-Tasyri’ al-Islamî Fîma La Nassa Fîhi, Kuwait : Dâr al-Qalam, 1973

Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, Usûl al-Fiqh Mazhab al-Imâm Ahmad Dirâsat Usûliyyah Muqâranah, cet. 2, Riyad : Maktabat ar-Riyad al-Hadisah, 1980

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Gazali, al-Musytasyfâ min al-Usûl , Damaskus : Baid al-Husain, t.t.

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Qur'an-Munawwir, Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984

Ahmad Zakariya (peny), Prof.KH. Ibrahim Hosen dan Pembahasan Hukum Islam di Indonesia, Cet.I, Jakarta : Pustaka harapan, 1990

Ali Syari’ati, Islam Mazdab Pemikiran dan Aksi, Bandung : Mizan, 1998

Ali Yafîe, “Posisi Ijtihâd dalam Keutuhan Ajaran Islam “, dalam Jalaluddin Rahmat (ed), Ijtihâd dalam Sorotan, Bandung : Mizan, 1994

_______, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung : Mizan, 1994

Anwar Ibrahim, Renaisans Asia, Bandung : Mizan, 1998

Asghar Ali Engineer, Islam dan teologi Pembebasan, Bandung :, Mizan, 1999

Asy-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî As-Syarî’ah, (Beirut ; Dâr al-Kutub al-Timiyyah, t.t

Asy-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî as-Syari’ah, Beirut ; Dâr al-Kutub al-Timiyyah, t.t.

Busthami Muhammad Said, Gerakan Pembaharuan Agama : Antara Modernisme dan Tajdiduddin, Cet. I, Bekasi : Wala Press, 1995

Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal : Dari Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta : Insist & Pustaka Pelajar, 2002

Fazlur Rahman, Islam Modern Tantangan Pembaharuan Islam, Cet. I, Yogyakarta : Shalahuddin Press, 1987

_____________, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Iqbal Abdurrauf Saimina (Peny.), Bandung : Mizan, 1994

Hassan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi : Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Bandung : Mizan, 2003

___________, Islamologi I : Dari Teologi Statis ke Anarkis, Miftah Faqih (pertj.), Yogyakarta : LkiS, 2003

___________, “Apa Arti Islam Kiri”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta : LKIS, 2004

___________, Dialog Agama dan Revolusi, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991

Husain Hamid Hasan, Nazâriyyah al-Maslahah fî al-Fiqh al-Islâmî, Kairo : Dâr an-Nahdah al-‘Arâbiyah, 1971

Jalâl ad-Dîn Abd Ar-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah wa Makânatuhâ fî at-Tasyri’, Beirut : Dâr al-Kutub al-Jami’, ttp.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Ummat, Bandung : Mizan, 1997

Listiyono Santoso dan Sunarto, “Memberikan Wacana Bagi Epistemologti Kiri : Sejumlah Gagasan Besar yang Menantang Sekaligus Melawan”, dalam Epistemologi Kiri, Listiyono Santoso (ed.), Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2003

Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari'at”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, No.3, Volume VI, 1995

________________, “Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformatif”, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (peny), Polemik Reaktualisasi, cet. i, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1988

________________, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan : Dialog Fiqih Pemberdayaan, Cet. 2, Bandung : Mizan, 1997

Muhammad Abd Azim az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fî usûl al-Qur'an, Beirut : Dâr al-Fîkr, t.t.

Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, Beirut : Dâr al-Fîkr, t.t.

Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Usûl , cet. I, Surabaya : Syirkah Maktabat Ahmad bin Sa’ad Ibn Nabhan, t.t.

Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Usûl, Beirut : Dâr al-Fîkr, t.t

Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti, Dawâbit al-Mahlahah fî as-Syarî’ah al-Islamîyah, cet.2, Beirut : Muassisah ar-Risâlat , 1977

Mustafa Zaid, al-Maslahah fî at-Tasyri’ al-Islâmî wa Najm ad-Dîn at-Tûfî, t.t.p. Dâr al-Fîkr al-‘Arabi, 1954

Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta : LkiS, 1994

Subhi Salih, Mabâhis fî Ulum al-Qur'an, cet. 9, Beirut : Dâr al ‘Ilm li al-Malayin, 1972

Sudirman Tebba, “Pembaharuan Hukum Islam Mempertimbangkan Harun Nasution”, dalan Zaim Ukhrawi dan Ahmadie Thaha (Peny), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, Cet. I, Jakarta : LSAF, 1989

Wahbah az-Zuhaili, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, cet. 2, Damaskus : Dâr al-Fîkr, 1986

Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, Yogyakarta : LkiS, 2000



[1] Listiyono Santoso dan Sunarto, “Memberikan Wacana Bagi Epistemologti Kiri : Sejumlah Gagasan Besar yang Menantang Sekaligus Melawan”, dalam Epistemologi Kiri, Listiyono Santoso (ed.), (Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2003), hlm.15

[2] Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal : Dari Wacana Menuju Gerakan, (Yogyakarta : Insist & Pustaka Pelajar, 2002), hlm. xxxiii

[3] Hassan Hanafi, “Apa Arti Islam Kiri”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta : LKIS, 2004), cet. VII, hlm. 81-82

[4] Abd Wahhab Khallaf, Ushul al-Fiqh, (Kuwait : Dar al-Qalam, 1978), hlm. 15

[5] Hasan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi : Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, (Bandung : Mizan, 2003), hlm. 7

[6] Wahbah az-Zuhaili, Usûl al-Fîqh al-Islamî,Juz II (Damaskus : Dâr al-Fikr, 1986) hlm. 803-804

[7] Lihat Hasan Hanafi, Islamologi I : Dari Teologi Statis ke Anarkis, Miftah Faqih (pertj.), (Yogyakarta : LkiS, 2003) hlm. 160-177

[8] Lihat karyanya Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 10-15

[9] Lihat karyanya Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta : LkiS, 1994), hlm. 1-9

[10] Mogok kerja, misalnya, dianggap sebagai tindakan yang melanggar akad antara pekerja dan pihak menejemen perusahaan, sehingga perilaku pekerja ini tidak boleh menurut ketentuan fiqih. Mengapa demikian? Karena fiqih diposisikan sebaqgai seperangkat aturan untuk menjaga stabilitas tanpa harus melihat aspekaspek penindasan, penganiayaan dan sebagainya.

[11] Lihat Eko Prasetyo, Islam Kiri …op.cit., hlm. xxv-xlv

[12] Gambaran sadis dan biadab itu dapat dilihat dalam al-Qur’an surat at-Tanwir : 8-9

[13] Lihat Asghar Ali Engineer, Islam dan teologi Pembebasan, (Bandung :, Mizan, 1999), hlm. 28-30; bandingkan dengan Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, (Yogyakarta : LkiS, 2000), hlm. 23-29

[14] Lihat Ziaul Haque, Wahyu … op.cit., hlm. 216

[15] Ibid., hlm. 226

[16] Ibid., hlm. 45

[17] al-Qur’an surat al-Anbiya’: 7-15

[18] Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Qur'an-Munawwir, (Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984), hlm. 255

[19] al-Qur’an surat al-Baqarah : 254

[20] al-Qur’an surat Ali Imran : 21

[21] al-Qur’an surat Ali Imran : 116-117

[22] Ali Syari’ati, Islam Mazdab Pemikiran dan Aksi, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 45

[23] Lihat Hassan Hanafi, “Apa Arti Kiri Islam” … op.cit., hlm. 128

[24] Syari’at pada awalnya adalah sekumpulan prinsip-prinsip moral, hukum dan aqidah. Namun pada abad XIII Hijriyah, ketika reformulasi teologi Islam dikristalkan, untuk pertama kali kata syari'at mulai dipakai dalam pengertian yang lebih sistematis. Syari'at dibatasi pemakaiannya untuk menyebut hukum (peraturan hukum) saja. Sedangkan teologi dikeluarkan dâri cakupannya. Lihat Abdul Hamid Abu Sulayman, “Fiqih Islam”, dalam Syamsul Anwar (Ed), Islam, Negara dan Hukum, Cet. I, (Jakarta : INIS, 1993), hlm. 123. Ibrahim Hosen membedakan antara fiqih dan syari'at. Menurutnya, Syari’at adalah yang telah dijelaskan secara tegas oleh nas Al-Qur'an dan Sunnah,sehingga bersifat qat’i. Sedangkan fiqih adalah yang tidak dijelaskan secara tegas oleh nas Al-Qur'an dan Sunnah sehingga bersifat zanni. Lihat Ahmad Zakariya (peny), Prof.KH. Ibrahim Hosen dan Pembahasan Hukum Islam di Indonesia, Cet.I, (Jakarta : Pustaka harapan, 1990), hlm. 103 - 104

[25] Ensiklopedi Hukum Islam, Abdul Aziz Dahlan et.al., Cet.I, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), jilid 4, hlm. 1108

[26] Hukum di sini maksudnya adalah ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis-Hadis Nabi yang pada dasarnya adalah ayat dan hadis hukum

[27] Masdar F. Mas’udi, Meletakkan Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari'at, dalam jurnal Ulumul Qur’an, No.3, Volume VI, 1995, hlm. 95

[28] Jalâl ad-Dîn Abd Ar-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah wa Makânatuhâ fî at-Tasyri’, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Jami’, ttp.), hlm. 12-13

[29] Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, Usûl al-Fiqh Mazhab al-Imâm Ahmad Dirâsat Usûliyyah Muqâranah, cet. 2, (Riyad : Maktabat ar-Riyad al-Hadisah, 1980), hlm. 513

[30] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Usûl , cet. I, (Surabaya : Syirkah Maktabat Ahmad bin Sa’ad Ibn Nabhan, t.t.), hlm 242

[31] Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti, Dawâbit al-Mahlahah fî as-Syarî’ah al-Islamîyah, cet.2, (Beirut : Muassisah ar-Risâlat , 1977), hlm. 23

[32] Asy-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî As-Syarî’ah, (Beirut ; Dâr al-Kutub al-Timiyyah, t.t.) II, hlm. 29

[33] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Gazali, al-Musytasyfâ min al-Usûl , (Damaskus : Baid al-Husain, t.t.), hlm. 251

[34] Husain Hamid Hasan, Nazâriyyah al-Maslahah fî al-Fiqh al-Islâmî, (Kairo : Dâr an-Nahdah al-‘Arâbiyah, 1971), hlm. 6

[35] Mustafa Zaid, al-Maslahah fî at-Tasyri’ al-Islâmî wa Najm ad-Dîn at-Tûfî, (t.t.p. Dâr al-Fîkr al-‘Arabi, 1954), hlm. 20

[36] Wahbah az-Zuhaili, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, cet. 2, (Damaskus : Dâr al-Fîkr, 1986), hlm. 765

[37] Ibid., hlm. 750

[38] A.H. Ridwan, Pemikiran Hasan Hanafî tentang Rekonstruksi Tradisi Keilmuan Islam, cet.I, (Yogyakarta : Ittiqa Press, 1998), hlm. 35 - 36

[39] Ibid., hlm. 36

[40] Lihat Ali Yafîe, “Posisi Ijtihad dalam Keutuhan Ajaran Islam “, dalam Jalaluddin Rahmat (ed), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 71 dan 121

[41] Lihat Abdul Wahab Khalaf, Masâdir at-Tasyri’ al-Islamî Fîma La Nassa Fîhi, (Kuwait : Dâr al-Qalam, 1973), hlm. 97-98.

[42] Ibid., hlm. 111. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, (Beirut : Dâr al-Fîkr, t.t.), hlm. 131

[43] Mustafa Zaid, al-Maslahah fî at-Tasyri’ op.cit hlm. 181

[44] Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Maslahat … op.cit., hlm. 99

[45] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Iqbal Abdurrauf Saimina (Peny.), (Bandung : Mizan, 1994), lhm. 116

[46] Fazlur Rahman, Islam Modern Tantangan Pembaharuan Islam, Cet. I, (Yogyakarta : Shalahuddin Press, 1987), hlm. 114

[47] Lihat Busthami Muhammad Said, Gerakan Pembaharuan Agama : Antara Modernisme dan Tajdiduddin, Cet. I, (Bekasi : Wala Press, 1995), hlm. 133-134 dan hlm. 169. Sayyid Ahmad Khan memandang bahwa ayat-ayat muhkamat bersifat asasi yang mengandung dasar-dasar aqidah, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat bersifat simbolik yang menerima lebih dari satu penafsiran. Di samping itu, Sayyid Ahmad Khan melihat bahwa al-Qur'an memiliki makna pokok dan makna sampingan yang dipegaruhi oleh kondisi lingkungannya. Harun Nasution, seorang pemikir muslim Indonesia ketika hendak melakukan pembaharuan dalam Islam juga membedakan antara ajaran yang qat’i dan zanni. Distingsi ini nampaknya begitu penting bagi Harun, karena disinilah anggapannya diletakkan ruang untuk dilakukan ijtihad. Lihat Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Maslahat … op.cit, hlm. 99

[48] Lihat Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan : Dialog Fiqih Pemberdayaan, Cet. 2, (Bandung : Mizan, 1997), hlm. 28

[49] Ada banyak perbedaan pendapat dalam mendefînisikan antara muhkan dan mutasyabih. Pertama, muhkâm adalah yang dalâlah-nya jelas dan tidak mengandung nasakh. Mutasyâbih adalah yang dalâlah-nya tidak jelas, yang tidak diketahui maknanya secara aqli dan naqli. Kedua, muhkâm adalah yang diketahui maksudnya, baik dengan penjelasan maupun dengan pentakwilan. Mutasyâbih adalah yang telah dibakukan oleh Allah seperti hari kiamat. Katiga, muhkam adalah yang hanya satu takwilnya dan mutasyâbih adalah yang takwilnya banyak. Keempat, muhkâm adalah yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan penjelasan, sedangkan mutasyâbih adalah yang tidak berdiri sendiri dan bahkan memerlukan penjelasan. Kelima, muhkâm adalah yang benar dan teratur yang menghantarkan kepada makna yang lurus tanpa manaf. Mutasyâbih adalah yang tidak bisa diketahui maknanya dari aspek bahasa kecuali dikaitkan dengan tanda dan qarinah. Keenam, muhkâm adalah yang maknanya jelas yang tidak menemukan kesulitan untuk memahaminya. Mutasyâbih adalah sebaliknya. Ketujuh, muhkâm adalah yang dalalahnya râjih, sedang mutasyâbih adalah yang dalalahnya tidak râjih. Lihat Muhammad Abd Azim az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fî usûl al-Qur'an, (Beirut : Dâr al-Fîkr, t.t.), hlm. 271-274. Bandingkan dengan Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Usûl, (Beirut : Dâr al-Fîkr, t.t.), hlm. 31-32. Perbedaan pendapat juga terjadi dalam menafsirkan surat Ali Imran : 7. Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa mutasyabih tidak diketahui takwilnya. Mereka mengatakan : “Kami beriman setiap hal yang datang dâri ‘Tuhan kami’ “. Akan tetapi Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa wakafnya terletak pada kata ar-Râsikhûna fî al-“ilm … Dengan demikian mereka mengetahui takwilnya. Pendapat ini diperjelas oleh Abu Ishaq asy-Syirazi. Dia mengatakan :”Tidak ada suatu pun yang dimatikan oleh Allah dengan ilmunya, melainkan ulama mengetahuinya. Karena Allah memberikan ini semua untuk menguji ulama. Seandainya mereka tidak mengetahui maknanya, maka mereka sama saja dengan orang awam. Sementara ar-Ragb al-Isfahani mengambil jalan tengah dengan membagi mutasyabih menjadi tiga macam. Pertama, yang tidak ada cara untuk mengetahuinya seperti hari Kiamat. Kedua, yang diketahui sebab-sebabnya oleh manusia seperti kata-kata asing. Ketiga, yang hanya diketahui oleh orang yang rasih. Lihat Subhi Salih, Mabâhis fî Ulum al-Qur'an, cet. 9, (Beirut : Dâr al ‘Ilm li al-Malayin, 1972), hlm, 282-283

[50] Masdar F. Mas’udi, “Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformatif”, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (peny), Polemik Reaktualisasi, cet. i, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1988), hlm. 185. Lihat pula Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Maslahat … op.cit., hlm. 98

[51] Sudirman Tebba, “Pembaharuan Hukum Islam Mempertimbangkan Harun Nasution”, dalan Zaim Ukhrawi dan Ahmadie Thaha (Peny), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, Cet. I, (Jakarta : LSAF, 1989), hlm. 140-142

[52] Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi ..., hlm. 27

[53] Hassan Hanafi, Islamologi I … op.cit., hlm. 160

[54] Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 22

[55] Ibid., hlm. 17

[56] Hassan Hanafi, Islamologi I … op.cit, hlm. 120

[57] Lihat Anwar Ibrahim, Renaisans Asia, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 17

[58] Arti kata dhu’afa dapat dilihat dari ayat ini : “Apakah ada seorang diantara kamu yang ingin mempunyai kebun korma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang ia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil (dhu’afa). Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikian Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu, supaya kamu memikirkannya” (Q.S. al-Baqarah : 266)

[59] Arti kata dhu’afa dapat dilihat dari ayat ini : “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang semuanya berdoa “ya Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri ini (Mekkah) yang dhalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!” (Q.S. an-Nisa’ : 75)

[60] Eko Prasetyo, Islam Kiri … op.cit., hlm. 238-241

[61] Lima aspek penting itu dikenal sebagai tujuan syari’ah yang oleh al-Syatibi sebagai mashlahat. Lihat Asy-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî as-Syari’ah, Beirut ; Dâr al-Kutub al-Timiyyah, t.t.

[62] Sekularisasi subyektif terjadi bila keterkaitan antara pengalaman keagamaan dan pengalaman sehari-hari terputus. Banyak cara agar umat Islam tidak terjatuh dalam sekularisasi subyektif, yakni dengan menjadi takmir masjid atau memelihara anak yatim. Lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Ummat, (Bandung : Mizan, 1997), hlm. 45

[63] Sekularisasi obyektif terjadi bila dalam kenyataan sehari-hari agama sudah dipisahkan dari gejala yang lain, misalnya dari ekonomi dan politik. Lihat Ibid., hlm. 46